MUNGKIN tidak semua orang mengenal atau bahkan mengonsumsi
buah biwa. Selain mahal, buah yang mengandung kadar vitamin C yang sangat
tinggi ini juga tidak begitu familiar dan sangat jarang sekali ditemukan di
pasar-pasar buah.
Keberadaan tanaman buah eksotis ini tidak sembarangan. Biwa
hanya bisa hidup di daerah dataran tinggi saja. Begitupun, pembudidayanya
sangat jarang sekali. Itu juga yang mengakibatkan buah biwa menjadi mahal dan
susah ditemukan. Kini harganya berkisar Rp 100.000 per kilogram (kg).
Biwa atau disebut juga anggur Karo ternyata tidak menjadi
perhatian petani di Sumatera Utara (Sumut) utamanya petani yang berada di
dataran tinggi, seperti Kabupaten Karo. Harga yang sangat menggiurkan tidak
mampu mendorong petani untuk mengembangkannya. Kalaupun ada keberadaannya hanya
sebatas tanaman pagar atau pembatas antara ladang petani dengan petani lainnya.
Itu juga tumbuhnya secara liar tanpa disengaja.
"Kalau untuk dibudidayakan sudah ada di sekitaran
Berastagi, dan Merek tetapi dalam partai kecil. Kecuali di Merek budidayanya
dilakukan oleh Taman Simalem Resort dengan luasan sekitar lima hektare,"
kata Kepala Kebun Percobaan Hortikultura Berastagi, Edison , di Tongkoh, Kabupaten Karo.
Edison mengatakan, ketidaktertarikan petani dikarenakan umur
produksi yang relative lama, berkisar antara 3,5 - 5 tahun. Dan, itu ditambah
dengan produksinya yang tidak terlalu banyak kecuali budidayanya dilakukan
secara intensif.
"Kalau budidayanya dilakukan secara intensif dalam
artian pemupukan diperhatikan begitu juga dengan pengendalian hama dan
penyakitnya produksi tanaman biwa bisa mencapai 40- 50 kg per pohon per tahun
dengan umur tanaman sekitar 5 tahun. Tetapi, kalau perawatan tidak dilakukan
produksi yang bisa dicapai hanya berkisar 25 - 30 kg per pohon per tahun dengan
umur tanaman 5 tahun," jelas Edison.
Sementara dari segi harga menurut Edison sangat bagus antara
Rp 80.000 - Rp 100.000 per kg. "Itu masih dari buah saja belum lagi dari
pengolahan daun biwa menjadi teh. Di mana khasiat teh sama dengan khasiat buah
biwa," kata Edison.
Dikatakanya, tanaman biwa, memiliki masa panen pada bulan
Agustus sampai Desember. Tetapi, untuk panen raya berlangsung pada bulan
November hingga Desember setiap tahunnya.
Terhadap kelangsungan tanaman biwa agar tidak punah, Edison
mengatakan, pihaknya telah membangun plasma nutfah sehingga menjadi sumber daya
genetik. "Tidak hanya biwa saja tetapi sayuran juga, buah-buah tropical
dan lain sebagainya sesuai dengan namanya Kebun Percobaan Hortikultura
Berastagi," kata Edison sembari berharap pemerintah dalam hal ini Dinas
Pertanian juga membantu mensosialisasikan pengembangan biwa kepada para petani
mengingat manfaat yang dihasilkan buah biwa bagi kesehatan manusia sangat baik.
Di Tanah Air, memang biwa baru populer di Brastagi, meski
ditemukan juga di dataran tinggi Karo lain serta Tapanuli Utara, Simalungun,
Toba Samosir dan Dairi. Di Brastagi, kerabat mawar itu dijajakan di pasar-pasar
tradisional dengan harga Rp 40.000/kg.
Sampai awal 2000-an anggur Berastagi itu didapat dari
pohon-pohon di pekarangan penduduk dan hutan-hutan. Baru pada 2003 mulai ada
yang mengebunkan intensif. (Bersambung)
(Sumber : Harian MedanBisnis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar