JIKA Anda berkunjung ke Kota Sibolga, Sumatera Utara, jangan lupa membeli oleh-oleh khas sana, tentu saja olahan dari ikan berupa abon, kerupuk, serta aneka penganan yang bahan utamanya dari ikan.
Jelas saja, karena Sibolga merupakan kota pesisir yang kaya dengan hasil tangkapan laut. Sejumlah warga kreatif di sana mengolah ikan tersebut menjadi produk makanan nan lezat dan bergizi.
Salah satunya adalah Kelompok Usaha Dewi Nauli, yang digawangi Hotmauli Siahaan selaku ketua kelompok. Kelompok ini memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang umumnya istri nelayan untuk jadi pengusaha olahan ikan.
Dan produk utama mereka adalah abon ikan tuna serta kerupuk ikan. Jika kita mengunjungi Pasar Horas Sibolga, kios jualan mereka ada di sana. Atau sejumlah supermarket di Sibolga juga menjual produk Dewi Nauli.
Keberadaan gerai tersebut didukung Dinas Perikanan dan Kelautan Sibolga. Termasuk usaha pembuatan yang mereka geluti, mendapat binaan pemerintah daerah serta beberapa pihak lain seperti Bank Indonesia, Bank Sumut, dan Dinas Perindustrian.
Hotmaluli mengatakan, kelompok usaha ini sudah berusia empat tahun, awalnya mereka hanya memproduksi abon ikan tuna. Ata ada kalanya menghanti bahan baku dengan ikan tenggiri, jika sewaktu-waktu tuna susah didapat.
Namun satu tahun terakhir mereka pun memproduksi kerupuk bawang ikan, kerupuk ikan, kerupuk sambal ikan teri, stik kentang ikan dan stik ubi rambat ikan.
“Kami terus menghadirkan inovasi, guna menarik hati konsumen,” katanya.
Tidak sekadar menambah varian, kapasitas produksi mereka juga meningkat. “Di tahun 2013 kami baru berproduksi 50 kg per bulan, namun sepanjang tahun 2014 mengalami peningkatan 100% untuk masing-masing varian produk,” kata Hotmauli. (mul)
Tampilkan postingan dengan label Pasca Panen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pasca Panen. Tampilkan semua postingan
Kamis, 29 Januari 2015
Senin, 29 September 2014
KETIKA OLAHAN TERI NAIK DAUN
TERI Medan,
banyak orang sudah kenal, bahkan dari penjuru Nusantara tahu bahwa ikan teri
yang enak, ya teri Medan. Tapi jika ikan teri dibuat satu olahan lain dari
biasanya, Teri Bajak jawabannya.
Windi Septia Dewi
mengolah ikan teri menjadi sesuatu yang berbeda. Panganan khas yang punya cita
rasa tersendiri. Ikan teri dia olah menjadi sambal, kalau orang Medan akrab
dengan sebutan Sartika alias sambal teri kacang.
Dengan brand Teri
Bajak, wanita muda ini mulai memopulerkan makanan ini sebagai salah satu
oleh-oleh khas Kota Medan.
Ide usaha kuliner
ini berawal dari aktivitas Windi sebagai pekerja di bidang broadcasting, yang
membuatnya sering bertemu orang-orang. Terutama yang datang dari luar Medan.
Windi justru
mengambil kesempatan, lewat interaksinya dengan orang banyak itu dia berbisnis
ikan teri.
Dibantu sang ibu,
Windi mengolah makanan itu menjadi menarik. "Mama itu asli Batak, jadi
resep dan mengolahnya semua dari mama. Sampai bumbu-bumbu yang dipakai juga.
Bahkan kita pakai daun bawang batak untuk rasa sambal teri agar jadi lebih
spesial," jelas Windi.
Sambal teri
kacang khas Windi ini pun naik daun - mulai populer di online shop. Windi
memang mengandalkan online shop untuk memasarkan produknya. Alasannya, modal
yang dikeluarkan tidak terlalu besar dan cukup praktis.
Ia akui pasar
utamanya sementara masih dari luar Medan. "Pasar lokal sih masih jadi
rintangan, karena mereka menganggap teri yang saya jual mahal. Tapi gak masalah
karena target saya memang untuk orang luar yang datang ke Medan,” kata Windi.
Rasa khas, gurih
dan pedas membuat dalam jangka waktu kurang dari setahun produk Teri Bajak ini mampu
memikat pasar di luar Medan seperti Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Yogjakarta.
Dengan mengandalkan sistem reseller Windi pun mampu menjual 350 bungkus teri
bajak dengan ukuran 150 gram per hari.
Jadi, sudah
saatnya wisatawan atau orang luar yang datang ke Medan memilih oleh-oleh khas
lain selain bika ambon atau bolu meranti, yakni Teri Bajak. #
Rabu, 10 September 2014
YOGHURT DARI KULIT PISANG, HHMMM...YUMMY!
LIMA mahasiswa jurusan pendidikan IPA Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta yaitu Ratna Wirawati, Manna Wassalwa, Zamzam Fatma Ambarsari, Feby Kristifany dan Anita Setyorini berhasil mengolah limbah kulit pisang menjadi yoghurt. Gagasan mahasiswa pendidikan IPA ini berhasil meraih dana Dikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2011 bidang Kewirausahaan.
Langkah membuatnya yaitu dengan mengumpulkan limbah kulit pisang lalu mengupas bagian dalam kulit pisang dan dihaluskan menggunakan mixer” ungkap saah satu mahasiswa nbernama Zamzam sepert dikutip dari laman resmi Universitas Negeri Yogyakarta, uny.ac.id.
Sedangkan bahan tambahannya adalah susu bubuk dan gula pasir. Cara pembuatannya dijelaskan Feby Kristifany. Pertama kali adonan yoghurt dibuat dengan takaran 1 liter krim pisang dicampur dengan 0,5 kg gula pasir lalu disterilkan atau dipasteurisasi dengan cara memanaskan adonan cream kulit pisang tersebut hingga suhu 73ºC selama 15 menit dengan menggunakan panci, kompor dan thermometer.
Langkah berikutnya proses kulturisasi yaitu memasukkan bibit yoghurt dan susu bubuk putih. Cream kulit pisang yang sudah dikulturkan tersebut dihangatkan dalam suhu 45 ºC selama 24 jam atau disebut proses inkubasi.
Kemudian krim kulit pisang diletakkan dalam kardus tersebut selama 24 jam, setelah itu yoghurt kulit pisang yang sudah jadi dimasukan ke dalam kulkas. #
Langkah membuatnya yaitu dengan mengumpulkan limbah kulit pisang lalu mengupas bagian dalam kulit pisang dan dihaluskan menggunakan mixer” ungkap saah satu mahasiswa nbernama Zamzam sepert dikutip dari laman resmi Universitas Negeri Yogyakarta, uny.ac.id.
Sedangkan bahan tambahannya adalah susu bubuk dan gula pasir. Cara pembuatannya dijelaskan Feby Kristifany. Pertama kali adonan yoghurt dibuat dengan takaran 1 liter krim pisang dicampur dengan 0,5 kg gula pasir lalu disterilkan atau dipasteurisasi dengan cara memanaskan adonan cream kulit pisang tersebut hingga suhu 73ºC selama 15 menit dengan menggunakan panci, kompor dan thermometer.
Langkah berikutnya proses kulturisasi yaitu memasukkan bibit yoghurt dan susu bubuk putih. Cream kulit pisang yang sudah dikulturkan tersebut dihangatkan dalam suhu 45 ºC selama 24 jam atau disebut proses inkubasi.
Kemudian krim kulit pisang diletakkan dalam kardus tersebut selama 24 jam, setelah itu yoghurt kulit pisang yang sudah jadi dimasukan ke dalam kulkas. #
Jumat, 05 September 2014
ARIADI KEMBANGKAN USAHA GULA TEBU
Awalnya Ariadi tidak pernah berpikir akan memiliki usaha pengolahan gula tebu, apalagi saat itu dia hanya bekerja sebagai sales gula tebu di Tanjung Morawa. Namun, setelah merasakan ”manisnya” usaha gula tebu, walau hanya sebagai sales, Ariadi pun termotivasi untuk terjun langsung memproduksi sendiri.
Dia melihat permintaan gula tebu di pasaran cukup besar. Dia pun membanting setir. Dia membuat sendiri gula tebu dengan mendatangkan bahan baku dari Aceh. Kini Ariadi bisa memproduksi gula tebu hingga empat ton per bulannya.
“Nggak mau makan gaji buta dan saya ingin berkembang,” katanya saat ditemui MedanBisnis di rumah produksinya, kawasan Kecamatan Terjun, Medan Marelan.
Ariadi mengisahkan, dia memulai usahanya itu sejak empat tahun lalu. Dia dibantu tiga tenaga kerja dari warga setempat, bahkan sempat berpindah rumah produksi beberapa kali. Dalam perjalannya, gula tebu yang mereka buat mendapatkan respon baik dari konsumen. Meski baru dipasarkan di Kota Medan dan sekitarnya, ternyata permintaan tetap tinggi, bahkan ada yang datang dari Sibolga.
Dijelaskannya, kalau harga gula tebu lebih ekonomis dibandingkan gula aren. Per kilonya dia memasarkan mulai Rp 8.700 hingga Rp10.500. Tentunya tergantung kualitas.
“Gula tebu ini ada klasifikasi. Gula tebu untuk jamu Rp 8.700 per kilonya, gula tebu biasa dengan kualitas nomor dua, Rp 9.200, gula tebu sedang Rp 10 ribu, kemudian gula tebu enak Rp 10.500 per kilo,” terang Ariadi.
Ariadi yang juga anggota Koperasi Masyarakat Sejahtera ini mengaku belajar membuat gula tebu secara otodidak. Awalnya dia bisa membuat sampai 300 kg per hari. Modal awalnya juga tidak besar-besar sekali, hanya Rp 6 juta. "Modal awalnya dari uang celengan. Jumlahnya sekitar Rp 6 jutaan. Dengan uang itu sudah dapat bahan baku lengkap dengan alat," kenangnya.
Ditambah modal jaringan yang sudah dimilikinya saat menjadi sales, dia pun memasarkan produk tersebut di wilayah Kota Medan dan sekitarnya. Hasilnya tidak begitu mengecewakan.
Tingginya permintaan, menurut Ariadi, untuk memenuhi permintaan gula aren yang tinggi di pasar.
Sementara jumlah gula aren yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan. Sehingga gula yang satu ini bisa menjadi alternatif.
Gula tebu yang dibuatnya, menurut Ariadi, diolah dari gula tebu setengah jadi dengan menambahkan sebagian gula pasir. Hal itu dilakukannya untuk mendapatkan kualitas gula terbaik. Setidaknya gulanya bisa bertahan selama sebulan di ruang terbuka dan lebih lama kalu disimpan di lemari pendingin.
Kalau balik ke belakang, sebetulnya Ariadi juga sempat memproduksi gula kelapa dengan mendatangkan bahan baku dari Pulau Jawa. Namun, usaha itu tidak berlanjut karena sering terkendala bahan baku.
Kini, dia sudah menetapkan pilihan dengan membuat gula tebu, apalagi omzet usahanya itu bisa berkisar Rp 36 juta hingga Rp 40 juta dengan margin keuntungan sekitar 10%. “Biaya operasionalnya tinggi. Marginnya hanya sekira 10 persen saja,” terangnya.
Dalam berusaha, menurut dia persoalan cuaca bisa menjadi kendala tersendiri. “Kalau panas, bahan bakunya cantik, kalau hujan jelek,” kata pria yang mengaku tidak mau hanya makan gaji saja. Ada satu hal yang disayangkannya, selama membuat gula tebu, dia mengaku belum pernah mendapatkan pembinaan dari instansi manapun untuk mengembangkan usaha dan pasarnya.
(Sumber : Harian MedanBisnis)
Dia melihat permintaan gula tebu di pasaran cukup besar. Dia pun membanting setir. Dia membuat sendiri gula tebu dengan mendatangkan bahan baku dari Aceh. Kini Ariadi bisa memproduksi gula tebu hingga empat ton per bulannya.
“Nggak mau makan gaji buta dan saya ingin berkembang,” katanya saat ditemui MedanBisnis di rumah produksinya, kawasan Kecamatan Terjun, Medan Marelan.
Ariadi mengisahkan, dia memulai usahanya itu sejak empat tahun lalu. Dia dibantu tiga tenaga kerja dari warga setempat, bahkan sempat berpindah rumah produksi beberapa kali. Dalam perjalannya, gula tebu yang mereka buat mendapatkan respon baik dari konsumen. Meski baru dipasarkan di Kota Medan dan sekitarnya, ternyata permintaan tetap tinggi, bahkan ada yang datang dari Sibolga.
Dijelaskannya, kalau harga gula tebu lebih ekonomis dibandingkan gula aren. Per kilonya dia memasarkan mulai Rp 8.700 hingga Rp10.500. Tentunya tergantung kualitas.
“Gula tebu ini ada klasifikasi. Gula tebu untuk jamu Rp 8.700 per kilonya, gula tebu biasa dengan kualitas nomor dua, Rp 9.200, gula tebu sedang Rp 10 ribu, kemudian gula tebu enak Rp 10.500 per kilo,” terang Ariadi.
Ariadi yang juga anggota Koperasi Masyarakat Sejahtera ini mengaku belajar membuat gula tebu secara otodidak. Awalnya dia bisa membuat sampai 300 kg per hari. Modal awalnya juga tidak besar-besar sekali, hanya Rp 6 juta. "Modal awalnya dari uang celengan. Jumlahnya sekitar Rp 6 jutaan. Dengan uang itu sudah dapat bahan baku lengkap dengan alat," kenangnya.
Ditambah modal jaringan yang sudah dimilikinya saat menjadi sales, dia pun memasarkan produk tersebut di wilayah Kota Medan dan sekitarnya. Hasilnya tidak begitu mengecewakan.
Tingginya permintaan, menurut Ariadi, untuk memenuhi permintaan gula aren yang tinggi di pasar.
Sementara jumlah gula aren yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan. Sehingga gula yang satu ini bisa menjadi alternatif.
Gula tebu yang dibuatnya, menurut Ariadi, diolah dari gula tebu setengah jadi dengan menambahkan sebagian gula pasir. Hal itu dilakukannya untuk mendapatkan kualitas gula terbaik. Setidaknya gulanya bisa bertahan selama sebulan di ruang terbuka dan lebih lama kalu disimpan di lemari pendingin.
Kalau balik ke belakang, sebetulnya Ariadi juga sempat memproduksi gula kelapa dengan mendatangkan bahan baku dari Pulau Jawa. Namun, usaha itu tidak berlanjut karena sering terkendala bahan baku.
Kini, dia sudah menetapkan pilihan dengan membuat gula tebu, apalagi omzet usahanya itu bisa berkisar Rp 36 juta hingga Rp 40 juta dengan margin keuntungan sekitar 10%. “Biaya operasionalnya tinggi. Marginnya hanya sekira 10 persen saja,” terangnya.
Dalam berusaha, menurut dia persoalan cuaca bisa menjadi kendala tersendiri. “Kalau panas, bahan bakunya cantik, kalau hujan jelek,” kata pria yang mengaku tidak mau hanya makan gaji saja. Ada satu hal yang disayangkannya, selama membuat gula tebu, dia mengaku belum pernah mendapatkan pembinaan dari instansi manapun untuk mengembangkan usaha dan pasarnya.
(Sumber : Harian MedanBisnis)
Langganan:
Postingan (Atom)